Kamis, 05 Maret 2009

Cerpen Putu Wijaya

Guru


Anak saya bercita-cita menjadi guru. Tentu saja saya dan istri saya jadi shok. Kami berdua tahu, macam apa masa depan seorang guru. Karena itu, sebelum terlalu jauh, kami cepat-cepat ngajak dia ngomong.

"Kami dengar selentingan, kamu mau jadi guru, Taksu? Betul?!"
Taksu mengangguk.

"Betul Pak."
Kami kaget.

"Gila, masak kamu mau jadi g-u-r-u?"
"Ya."

Saya dan istri saya pandang-pandangan. Itu malapetaka. Kami sama sekali tidak percaya apa yang kami dengar. Apalagi ketika kami tatap tajam-tajam, mata Taksu nampak tenang tak bersalah. Ia pasti sama sekali tidak menyadari apa yang barusan diucapkannya. Jelas ia tidak mengetahui permasalahannya.

Kami bertambah khawatir, karena Taksu tidak takut bahwa kami tidak setuju. Istri saya menarik nafas dalam-dalam karena kecewa, lalu begitu saja pergi. Saya mulai bicara blak-blakan.

"Taksu, dengar baik-baik. Bapak hanya bicara satu kali saja. Setelah itu terserah kamu! Menjadi guru itu bukan cita-cita. Itu spanduk di jalan kumuh di desa. Kita hidup di kota. Dan ini era milenium ketiga yang diwarnai oleh globalisasi, alias persaingan bebas. Di masa sekarang ini tidak ada orang yang mau jadi guru. Semua guru itu dilnya jadi guru karena terpaksa, karena mereka gagal meraih yang lain. Mereka jadi guru asal tidak nganggur saja. Ngerti? Setiap kali kalau ada kesempatan, mereka akan loncat ngambil yang lebih menguntungkan. Ngapain jadi guru, mau mati berdiri? Kamu kan bukan orang yang gagal, kenapa kamu jadi putus asa begitu?!"

"Tapi saya mau jadi guru."
"Kenapa? Apa nggak ada pekerjaan lain? Kamu tahu, hidup guru itu seperti apa? Guru itu hanya sepeda tua. Ditawar-tawarkan sebagai besi rongsokan pun tidak ada yang mau beli. Hidupnya kejepit. Tugas seabrek-abrek, tetapi duit nol besar. Lihat mana ada guru yang naik Jaguar. Rumahnya saja rata-rata kontrakan dalam gang kumuh. Di desa juga guru hidupnya bukan dari mengajar tapi dari tani. Karena profesi guru itu gersang, boro-boro sebagai cita-cita, buat ongkos jalan saja kurang. Cita-cita itu harus tinggi, Taksu. Masak jadi guru? Itu cita-cita sepele banget, itu namanya menghina orang tua. Masak kamu tidak tahu? Mana ada guru yang punya rumah bertingkat. Tidak ada guru yang punya deposito dollar. Guru itu tidak punya masa depan. Dunianya suram. Kita tidur, dia masih saja utak-atik menyiapkan bahan pelajaran atau memeriksa PR. Kenapa kamu bodoh sekali mau masuk neraka, padahal kamu masih muda, otak kamu encer, dan biaya untuk sekolah sudah kami siapkan. Coba pikir lagi dengan tenang dengan otak dingin!"

"Sudah saya pikir masak-masak."
Saya terkejut.

"Pikirkan sekali lagi! Bapak kasi waktu satu bulan!"
Taksu menggeleng.
"Dikasih waktu satu tahun pun hasilnya sama, Pak. Saya ingin jadi guru."

"Tidak! Kamu pikir saja dulu satu bulan lagi!"
Kami tinggalkan Taksu dengan hati panas. Istri saya ngomel sepanjang perjalanan. Yang dijadikan bulan-bulanan, saya. Menurut dia, sayalah yang sudah salah didik, sehingga Taksu jadi cupet pikirannya.

"Kau yang terlalu memanjakan dia, makanya dia seenak perutnya saja sekarang. Masak mau jadi guru. Itu kan bunuh diri!"
Saya diam saja. Istri saya memang aneh. Apa saja yang tidak disukainya, semua dianggapnya hasil perbuatan saya. Nasib suami memang rata-rata begitu. Di luar bisa galak melebihi macan, berhadapan dengan istri, hancur.

Bukan hanya satu bulan, tetapi dua bulan kemudian, kami berdua datang lagi mengunjungi Taksu di tempat kosnya. Sekali ini kami tidak muncul dengan tangan kosong. Istri saya membawa krupuk kulit ikan kegemaran Taksu. Saya sendiri membawa sebuah lap top baru yang paling canggih, sebagai kejutan.

Taksu senang sekali. Tapi kami sendiri kembali sangat terpukul. Ketika kami tanyakan bagaimana hasil perenungannya selama dua bulan, Taksu memberi jawaban yang sama.

"Saya sudah bilang saya ingin jadi guru, kok ditanya lagi, Pak," katanya sama sekali tanpa rasa berdosa.
Sekarang saya naik darah. Istri saya jangan dikata lagi. Langsung kencang mukanya. Ia tak bisa lagi mengekang marahnya. Taksu disemprotnya habis.

"Taksu! Kamu mau jadi guru pasti karena kamu terpengaruh oleh puji-pujian orang-orang pada guru itu ya?!" damprat istri saya. "Mentang-mentang mereka bilang, guru pahlawan, guru itu berbakti kepada nusa dan bangsa. Ahh! Itu bohong semua! Itu bahasa pemerintah! Apa kamu pikir betul guru itu yang sudah menyebabkan orang jadi pinter? Apa kamu tidak baca di koran, banyak guru-guru yang brengsek dan bejat sekarang? Ah?"

Taksu tidak menjawab.
"Negara sengaja memuji-muji guru setinggi langit tetapi lihat sendiri, negara tidak pernah memberi gaji yang setimpal, karena mereka yakin, banyak orang seperti kamu, sudah puas karena dipuji. Mereka tahu kelemahan orang-orang seperti kamu, Taksu. Dipuji sedikit saja sudah mau banting tulang, kerja rodi tidak peduli tidak dibayar. Kamu tertipu Taksu! Puji-pujian itu dibuat supaya orang-orang yang lemah hati seperti kamu, masih tetap mau jadi guru. Padahal anak-anak pejabat itu sendiri berlomba-lomba dikirim keluar negeri biar sekolah setinggi langit, supaya nanti bisa mewarisi jabatan bapaknya! Masak begitu saja kamu tidak nyahok?"

Taksu tetap tidak menjawab.
"Kamu kan bukan jenis orang yang suka dipuji kan? Kamu sendiri bilang apa gunanya puji-pujian, yang penting adalah sesuatu yang konkret. Yang konkret itu adalah duit, Taksu. Jangan kamu takut dituduh materialistis. Siapa bilang meterialistik itu jelek. Itu kan kata mereka yang tidak punya duit. Karena tidak mampu cari duit mereka lalu memaki-maki duit. Mana mungkin kamu bisa hidup tanpa duit? Yang bener saja. Kita hidup perlu materi. Guru itu pekerjaan yang anti pada materi, buat apa kamu menghabiskan hidup kamu untuk sesuatu yang tidak berguna? Paham?"

Taksu mengangguk.
"Paham. Tapi apa salahnya jadi guru?"
Istri saya melotot tak percaya apa yang didengarnya. Akhirnya dia menyembur.

"Lap top-nya bawa pulang saja dulu, Pak. Biar Taksu mikir lagi! Kasih dia waktu tiga bulan, supaya bisa lebih mendalam dalam memutuskan sesuatu. Ingat, ini soal hidup matimu sendiri, Taksu!"

Sebenarnya saya mau ikut bicara, tapi istri saya menarik saya pergi. Saya tidak mungkin membantah. Di jalan istri saya berbisik.

"Sudah waktunya membuat shock therapy pada Taksu, sebelum ia kejeblos terlalu dalam. Ia memang memerlukan perhatian. Karena itu dia berusaha melakukan sesuatu yang menyebabkan kita terpaksa memperhatikannya. Dasar anak zaman sekarang, akal bulus! Yang dia kepingin bukan lap top tapi mobil! Bapak harus kerja keras beliin dia mobil, supaya mau mengikuti apa nasehat kita!"

Saya tidak setuju, saya punya pendapat lain. Tapi apa artinya bantahan seorang suami. Kalau adik istri saya atau kakaknya, atau bapak-ibunya yang membantah, mungkin akan diturutinya. Tapi kalau dari saya, jangan harap. Apa saja yang saya usulkan mesti dicurigainya ada pamrih kepentingan keluarga saya. Istri memang selalu mengukur suami, dari perasaannya sendiri.

Tiga bulan kami tidak mengunjungi Taksu. Tapi Taksu juga tidak menghubungi kami. Saya jadi cemas. Ternyata anak memang tidak merindukan orang tua, orang tua yang selalu minta diperhatikan anak.

Akhirnya, tanpa diketahui oleh istri saya, saya datang lagi. Sekali ini saya datang dengan kunci mobil. Saya tarik deposito saya di bank dan mengambil kredit sebuah mobil. Mungkin Taksu ingin punya mobil mewah, tapi saya hanya kuat beli murah. Tapi sejelek-jeleknya kan mobil, dengan bonus janji, kalau memang dia mau mengubah cita-citanya, jangankan mobil mewah, segalanya akan saya serahkan, nanti.

"Bagaimana Taksu," kata saya sambil menunjukkan kunci mobil itu. "Ini hadiah untuk kamu. Tetapi kamu juga harus memberi hadiah buat Bapak."

Taksu melihat kunci itu dengan dingin.
"Hadiah apa, Pak?"

Saya tersenyum.
"Tiga bulan Bapak rasa sudah cukup lama buat kamu untuk memutuskan. Jadi, singkat kata saja, mau jadi apa kamu sebenarnya?"

Taksu memandang saya.
"Jadi guru. Kan sudah saya bilang berkali-kali?"

Kunci mobil yang sudah ada di tangannya saya rebut kembali.
"Mobil ini tidak pantas dipakai seorang guru. Kunci ini boleh kamu ambil sekarang juga, kalau kamu berjanji bahwa kamu tidak akan mau jadi guru, sebab itu memalukan orang tua kamu. Kamu ini investasi untuk masa depan kami, Taksu, mengerti? Kamu kami sekolahkan supaya kamu meraih gelar, punya jabatan, dihormati orang, supaya kami juga ikut terhormat. Supaya kamu berguna kepada bangsa dan punya duit untuk merawat kami orang tuamu kalau kami sudah jompo nanti. Bercita-citalah yang bener. Mbok mau jadi presiden begitu! Masak guru! Gila! Kalau kamu jadi guru, paling banter setelah menikah kamu akan kembali menempel di rumah orang tuamu dan menyusu sehingga semua warisan habis ludes. Itu namanya kerdil pikiran. Tidak! Aku tidak mau anakku terpuruk seperti itu!"

Lalu saya letakkan kembali kunci itu di depan hidungnya. Taksu berpikir. Kemudian saya bersorak gegap gembira di dalam hati, karena ia memungut kunci itu lagi.

"Terima kasih, Pak. Bapak sudah memperhatikan saya. Dengan sesungguh-sungguhnya, saya hormat atas perhatian Bapak."
Sembari berkata itu, Taksu menarik tangan saya, lalu di atas telapak tangan saya ditaruhnya kembali kunci mobil itu.

"Saya ingin jadi guru. Maaf."
Kalau tidak menahan diri, pasti waktu itu juga Taksu saya tampar. Kebandelannya itu amat menjengkelkan. Pesawat penerimanya sudah rusak. Untunglah iman saya cukup baik. Saya tekan perasaan saya. Kunci kontak itu saya genggam dan masukkan ke kantung celana.

"Baik. Kalau memang begitu, uang sekolah dan uang makan kamu mulai bulan depan kami stop. Kamu hidup saja sendirian. Supaya kamu bisa merasakan sendiri langsung bagaimana penderitaan hidup ini. Tidak semudah yang kamu baca dalam teori dan slogan. Mudah-mudahan penderitaan itu akan membimbing kamu ke jalan yang benar. Tiga bulan lagi Bapak akan datang. Waktu itu pikiranmu sudah pasti akan berubah! Bangkit memang baru terjadi sesudah sempat hancur! Tapi tak apa."

Tanpa banyak basa-basi lagi, saya pergi. Saya benar-benar naik pitam. Saya kira Taksu pasti sudah dicocok hidungnya oleh seseorang. Tidak ada orang yang bisa melakukan itu, kecuali Mina, pacarnya. Anak guru itulah yang saya anggap sudah kurang ajar menjerumuskan anak saya supaya terkiblat pikirannya untuk menjadi guru. Sialan!

Tepat tiga bulan kemudian saya datang lagi. Sekali ini saya membawa kunci mobil mewah. Tapi terlebih dulu saya mengajukan pertanyaan yang sama.
"Coba jawab untuk yang terakhir kalinya, mau jadi apa kamu sebenarnya?"

"Mau jadi guru."
Saya tak mampu melanjutkan. Tinju saya melayang ke atas meja. Gelas di atas meja meloncat. Kopi yang ada di dalamnya muncrat ke muka saya.

"Tetapi kenapa? Kenapa? Apa informasi kami tidak cukup buat membuka mata dan pikiran kamu yang sudah dicekoki oleh perempuan anak guru kere itu? Kenapa kamu mau jadi guru, Taksu?!!!"

"Karena saya ingin jadi guru."
"Tidak! Kamu tidak boleh jadi guru!"

"Saya mau jadi guru."
"Aku bunuh kau, kalau kau masih saja tetap mau jadi guru."

Taksu menatap saya.
"Apa?"

"Kalau kamu tetap saja mau jadi guru, aku bunuh kau sekarang juga!!" teriak saya kalap.
Taksu balas memandang saya tajam.

"Bapak tidak akan bisa membunuh saya."
"Tidak? Kenapa tidak?"

"Sebab guru tidak bisa dibunuh. Jasadnya mungkin saja bisa busuk lalu lenyap. Tapi apa yang diajarkannya tetap tertinggal abadi. Bahkan bertumbuh, berkembang dan memberi inspirasi kepada generasi di masa yanag akan datang. Guru tidak bisa mati, Pak."

Saya tercengang.
"O… jadi narkoba itu yang sudah menyebabkan kamu mau jadi guru?"

"Ya! Itu sebabnya saya ingin jadi guru, sebab saya tidak mau mati."
Saya bengong. Saya belum pernah dijawab tegas oleh anak saya. Saya jadi gugup.

"Bangsat!" kata saya kelepasan. "Siapa yang sudah mengotori pikiran kamu dengan semboyan keblinger itu? Siapa yang sudah mengindoktrinasi kamu, Taksu?"

Taksu memandang kepada saya tajam.
"Siapa Taksu?!"

Taksu menunjuk.
"Bapak sendiri, kan?"
Saya terkejut.

"Itu kan 28 tahun yang lalu! Sekarang sudah lain Taksu! Kamu jangan ngacau! Kamu tidak bisa hidup dengan nasehat yang Bapak berikan 30 tahun yang lalu! Waktu itu kamu malas. Kamu tidak mau sekolah, kamu hanya mau main-main, kamu bahkan bandel dan kurang ajar pada guru-guru kamu yang datang ke sekolah naik ojek. Kamu tidak sadar meskipun sepatunya butut dan mukanya layu kurang gizi, tapi itulah orang-orang yang akan menyelamatkan hidup kamu. Itulah gudang ilmu yang harus kamu tempel sampai kamu siap. Sebelum kamu siap, kamu harus menghormati mereka, sebab dengan menghormati mereka, baru ilmu itu bisa melekat. Tanpa ada ilmu kamu tidak akan bisa bersaing di zaman global ini. Tahu?"

Satu jam saya memberi Taksu kuliah. Saya telanjangi semua persepsinya tentang hidup. Dengan tidak malu-malu lagi, saya seret nama pacarnya si Mina yang mentang-mentang cantik itu, mau menyeret anak saya ke masa depan yang gelap.

"Tidak betul cinta itu buta!" bentak saya kalap. "Kalau cinta bener buta apa gunanya ada bikini," lanjut saya mengutip iklan yang saya sering papas di jalan. "Kalau kamu menjadi buta, itu namanya bukan cinta tetapi racun. Kamu sudah terkecoh, Taksu. Meskipun keluarga pacarmu itu guru, tidak berarti kamu harus mengidolakan guru sebagai profesi kamu. Buat apa? Justru kamu harus menyelamatkan keluarga guru itu dengan tidak perlu menjadi guru, sebab mereka tidak perlu hidup hancur berantakan gara-gara bangga menjadi guru. Apa artinya kebanggaan kalau hidup di dalam kenyataan lebih menghargai dasi, mobil, duit, dan pangkat? Punya duit, pangkat dan harta benda itu bukan dosa, mengapa harus dilihat sebagai dosa. Sebab itu semuanya hanya alat untuk bisa hidup lebih beradab. Kita bukan menyembahnya, tidak pernah ada ajaran yang menyuruh kamu menyembah materi. Kita hanya memanfaatkan materi itu untuk menambah hidup kita lebih manusiawi. Apa manusia tidak boleh berbahagia? Apa kalau menderita sebagai guru, baru manusia itu menjadi beradab? Itu salah kaprah! Ganti kepala kamu Taksu, sekarang juga! Ini!"

Saya gebrakkan kunci mobil BMW itu di depan matanya dengan sangat marah.
"Ini satu milyar tahu?!"
Sebelum dia sempat menjawab atau mengambil, kunci itu saya ambil kembali sambil siap-siap hendak pergi.

"Pulang sekarang dan minta maaf kepada ibu kamu, sebab kamu baru saja menghina kami! Tinggalkan perempuan itu. Nanti kalau kamu sudah sukses kamu akan dapat 7 kali perempuan yang lebih cantik dari si Mina dengan sangat gampang! Tidak perlu sampai menukar nalar kamu!"

Tanpa menunggu jawaban, lalu saya pulang. Saya ceritakan pada istri saya apa yang sudah saya lakukan. Saya kira saya akan dapat pujian. Tetapi ternyata istri saya bengong. Ia tak percaya dengan apa yang saya ceritakan. Dan ketika kesadarannya turun kembali, matanya melotot dan saya dibentak habis-habisan.

"Bapak terlalu! Jangan perlakukan anakmu seperti itu!" teriak istri saya kalap.
Saya bingung.

"Ayo kembali! Serahkan kunci mobil itu pada Taksu! Kalau memang mau ngasih anak mobil, kasih saja jangan pakai syarat segala, itu namanya dagang! Masak sama anak dagang. Dasar mata duitan!"

Saya tambah bingung.
"Ayo cepet, nanti anak kamu kabur!"

Saya masih ingin membantah. Tapi mendengar kata kabur, hati saya rontok. Taksu itu anak satu-satunya. Sebelas tahun kami menunggunya dengan cemas. Kami berobat ke sana-kemari, sampai berkali-kali melakukan enseminasi buatan dan akhirnya sempat dua kali mengikuti program bayi tabung. Semuanya gagal. Waktu kami pasrah tetapi tidak menyerah, akhirnya istri saya mengandung dan lahirlah Taksu. Anak yang sangat mahal, bagaimana mungkin saya akan biarkan dia kabur?

"Ayo cepat!" teriak sitri saya kalap.
Dengan panik saya kembali menjumpai Taksu. Tetapi sudah terlambat. Anak itu seperti sudah tahu saja, bahwa ibunya akan menyuruh saya kembali. Rumah kost itu sudah kosong. Dia pergi membawa semua barang-barangnya, yang tinggal hanya secarik kertas kecil dan pesan kecil:

"Maaf, tolong relakan saya menjadi seorang guru."
Tangan saya gemetar memegang kertas yang disobek dari buku hariannya itu. Kertas yang nilainya mungkin hanya seperak itu, jauh lebih berarti dari kunci BMW yang harganya semilyar dan sudah mengosongkan deposito saya. Saya duduk di dalam kamar itu, mencium bau Taksu yang masih ketinggalan. Pikiran saya kacau. Apakah sudah takdir dari anak dan orang tua itu bentrok? Mau tak mau saya kembali memaki-maki Mina yang sudah menyesatkan pikiran Taksu. Kembali saya memaki-maki guru yang sudah dikultusindividukan sebagai pekerjaan yang mulia, padahal dalam kenyataannya banyak sekali guru yang brengsek.

Pintu kamar tiba-tiba terbuka. Saya seperti dipagut aliran listrik. Tetapi ketika menoleh, itu bukan Taksu tetapi istri saya yang menyusul karena merasa cemas. Waktu ia mengetahui apa yang terjadi, dia langsung marah dan kemudian menangis. Akhirnya saya lagi yang menjadi sasaran. Untuk pertama kalinya saya berontak. Kalau tidak, istri saya akan seterusnya menjadikan saya bal-balan. Saya jawab semua tuduhan istri saya. Dia tercengang sebab untuk pertama kalinya saya membantah. Akhirnya di bekas kamar anak kami itu, kami bertengkar keras.

Tetapi itu 10 tahun yang lalu.
Sekarang saya sudah tua. Waktu telah memproses segalanya begitu rupa, sehingga semuanya di luar dugaan. Sekarang Taksu sudah menggantikan hidup saya memikul beban keluarga. Ia menjadi salah seorang pengusaha besar yang mengimpor barang-barang mewah dan mengekspor barang-barang kerajinan serta ikan segar ke berbagai wilayah mancanegara.

"Ia seorang guru bagi sekitar 10.000 orang pegawainya. Guru juga bagi anak-anak muda lain yang menjadi adik generasinya. Bahkan guru bagi bangsa dan negara, karena jasa-jasanya menularkan etos kerja," ucap promotor ketika Taksu mendapat gelar doktor honoris causa dari sebuah pergurauan tinggi bergengsi. ***

Mataram, Jakarta, 22-10-01
Jakarta, 31-12-01


Cerpen : Ratna Indraswari Ibrahim

Pada Suatu Hari


Wawancara yang dimohon wartawati baru itu, oleh Presiden dikabulkan. Padahal, Annisa baru sepuluh bulan bekerja sebagai wartawati di media ini. (Kabar itu membengkakkan rasa cemburu rekan-rekannya, yang lebih senior). Lagi pula, semua orang tahu, yang mulia Presiden tidak mudah diwawancarai!

Dalam wawancara, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh Annisa. Selama wawancara dengan Presiden, tidak diperbolehkan membicarakan politik, ekonomi, baik dalam maupun luar negeri. Yang diperbolehkan hanya membicarakan hal-hal yang ringan. Wawancara bertempat di serambi belakang istana (di mana tempat itu adalah bagian terindah dari istana).

Wawancara akan dilakukan pada jam dua siang. Annisa harus hadir lima belas menit sebelum wawancara dimulai. Tidak diperkenankan membawa fotografer. Dan paling penting yang harus diingat Annisa, tidak diperbolehkan memakai parfum. Presiden yang perokok berat itu, alergi terhadap parfum. Padahal, tanpa parfum kesukaannya, Annisa merasa gamang.

Tepat lima belas menit sebelum jam dua siang, Annisa, 26 tahun, tinggi seratus tujuh puluh sentimeter, bermata lebar, kulitnya cokelat seperti tanah yang baru dibasahi hujan, putri bungsu dari empat bersaudara Bapak-Ibu Syahrul yang pengusaha, hadir di serambi belakang istana.

Jam dua siang tepat, yang mulia Presiden muncul dengan mengenakan baju warna gelap. Tanpa senyum, mengulurkan tangannya kepada Annisa.
Ada perasaan galau dalam diri Annisa. Dia mencoba menetralisir pikirannya yang kacau-balau (Terkagum-kagum kepada Presiden yang pernah dikenal dekat oleh bundanya). Annisa tersedot.

Sambil menyulut rokok yang digemarinya, Presiden berkata, "Anda bisa memulai dengan pertanyaan pertama."
Annisa yang untuk selanjutnya disebut dengan inisial (A), dan Presiden dengan inisial (P), memulai wawancara yang bagi Annisa, membuatnya gugup, berkeringat. (Bundanya pernah berkata, akan sulit baginya, mewawancarai lelaki yang suka menjaga jarak dalam pembicaraan mereka).
***
A: Di masa muda Bapak menyukai olahraga tenis, apakah Bapak masih sempat melakukan olahraga itu?

P: Saya masih melakukannya pada setiap Sabtu siang. Tetapi, setiap memukul bola, pikiran saya selalu tertumpu pada pekerjaan. Sehingga sulit memenangkan pertandingan yang saya adakan dengan pegawai-pegawai di lingkungan istana ini.

A: Saya kira, Bapak sangat menyukai pekerjaan, padahal tahun ini Bapak genap berusia berusia 60 tahun.

P: Kadang-kadang dalam usia ini, saya ingin sekali beristirahat untuk menikmati masa kerja yang begitu panjang temponya. Tetapi, harus Anda ketahui, hal itu tidak akan pernah saya lakukan. Karena, sekali lagi saya tegaskan, banyak pekerjaan yang tidak bisa ditunda.

A: Bapak beranggapan kerja menjadi keseluruhan hidup ini?

P: Saya tidak bilang begitu. Karena kadang-kadang saya juga menikmati waktu senggang dengan bermain tenis atau bermain dengan cucu-cucu saya. Keseimbangan itu bisa menyehatkan siapa saja.

A: Apakah Bapak masih menyukai seni, seperti di masa muda? Karena Bapak pernah menerbitkan beberapa kumpulan puisi. Saya dan Bunda suka puisi Bapak yang berjudul Bulan di Atas Pohon Kenari.

P: Di masa muda adalah waktu yang mengasyikkan kala menciptakan puisi. Tapi itu sudah lewat. Pikiran saya selalu melompat-lompat pada problem yang desak-mendesak di negeri ini.

A: Apakah Bapak kecewa?

P: Tidak. Setiap orang berada pada situasi batas, di mana kita tidak bisa memiliki banyak pilihan.

A: Apakah sekarang Bapak masih suka nonton film seperti di masa muda?

P: Ya, film-film dokumenter, sejarah atau perang. Saya kurang suka menonton film roman. Melihat film itu seperti melihat ilusi yang bisa meninabobokan kita semua.

A: Menurut beberapa ahli mode, Bapak menyukai model-model konservatif dan cenderung menyukai warna gelap. Menurut majalah mode, Bapak adalah pria berbusana terbaik di tahun ini. Bagaimana komentar Bapak tentang pendapat para ahli mode itu?

P: Sejak muda, saya tidak mempedulikan mode. Buat saya, asal enak dipakai saja.

A: Kalau hidup ini bisa diulang, profesi apa yang Bapak sukai?

P: Penyair, karena saya bisa terlibat dengan banyak manusia, menulis kristalisasi kehidupan.

A: Apakah dengan menjadi Presiden, kita tidak bisa mengkristalisasi kehidupan ini?

P: Ibu Annisa, pertanyaan Anda lepas dari koridor perjanjian semula.

A: Maaf, sekarang bagaimana pendapat Bapak tentang perempuan?

P: Saya suka perempuan yang konvensional. Ini bukan berarti saya tidak menyukai wanita karier. Sebab, saya kira, pekerjaan apa pun pasti bisa menarik.

A: Bagaimana pendapat Bapak tentang cinta?

P: Saya kira, kita tidak bisa memanipulasi cinta. Untuk hal ini harus ada kerja sama.

A: Kalau saya boleh menyimpulkan, Bapak hanya mencintai kerja keras dan berharap semua orang bisa meniru sikap Bapak. Lantas apa yang tidak Bapak sukai?

P: Sikap malas dan perasaan lemah.

A: Biasanya, perempuan dianggap lemah karena gampang menangis, bagaimana pendapat Bapak?

P: Seharusnya perempuan yang tinggal di negeri ini bersikap rasional. Sebab, kehidupan di zaman ini siap tempur dan desak-mendesak.

A: Kenyataannya sekarang banyak perempuan bahkan laki-laki yang cengeng. Itu terlihat pada film-film, sinetron, novel-novel atau lagu yang mereka gemari.

P: Benar, di dalam buku saku saya, sudah ada rencana untuk menghimbau rakyat agar mereka meninggalkan kecengengan itu.

A: Tapi, kalau kita bersikap yang sama, dunia ini akan kehilangan warnanya. Bagaimana pendapat Bapak?

P: Paling penting adalah warna yang rasional.

A: Apakah Bapak masih bisa menikmati bunga yang mekar, misalnya?

P: Saya mencoba untuk tidak pernah terpesona pada segala hal.

A: Bagaimana pendapat Bapak tentang lomba go car yang baru-baru ini diadakan dan juara pertamanya cucu Bapak yang baru berusia tiga belas tahun?

P: Sayang sekali, saya tidak sempat menyaksikan lomba tersebut. Yah, kelihatannya memang menarik.

A: Bagaiamana pendapat Bapak tentang remaja masa kini?

P: Pada dasarnya saya berharap mereka bisa lebih kreatif. Ibu Annisa, saya kira wawancara ini bisa ditutup sampai di sini saja!
***
Pada kesempatan itu Presiden membuka sebuah kotak berisi sebentuk cincin bermata mirah.

"Seharusnya kotak ini saya berikan pada Bundamu, tiga puluh lima tahun yang lampau, di hari pernikahannya! Sekarang bisa kau berikan kepadanya. Bilang pada Ibumu, sebagai teman lama, saya menyarankan dia tidak hanya membuat novel-novel yang bertemakan kelemahan-kelamahan manusia saja."

Annisa gugup. Sebelum dia berbicara lebih lanjut, yang mulia Presiden berdiri.

"Kamu sangat mirip ibumu, Annisa! Tadi saya nyaris menyangka dialah yang hadir."

Annisa gelagapan. Dia merasa berhalusinasi ketika melihat kesedihan, cinta, kebencian, di mata laki-laki itu. Bundanya pernah berkata, lelaki ini sulit mengungkapkan perasaannya. Pada waktu yang sama, ayahnya melamar Ibunya.

Sebelum Annisa sempat berucap apa-apa, lelaki itu bergegas memasuki ruang kerjanya, melihatnya sepintas, kemudian menutup pintu ruang kerjanya!
***
Sore ini, di kamar, Annisa mencoba mengedit hasil wawancaranya dengan Presiden. Dia merasa kesulitan dan capek. Secara iseng Annisa membuka chanel TV, kemudian dengan geram mematikannya lagi, kala berita infotaiment sore itu mengatakan, Annisa berhasil mewawancarai Presiden, yang biasanya sulit diwawancarai! Dan, kata presenternya, bagaimana Anissa bisa semudah itu mewawancarai presiden.

Annisa berpikir, sebuah tembok mengelilinginya. Dia ingin menghancurkan tembok itu. Annisa mengerti bahwa lelaki itu mirip orang yang dicintainya. Padahal saat ini Annisa sudah bertunangan dengan lelaki lain.

Keputusan ini tidak mudah. Bundanya menganggap, dia tidak mengambil keputusan yang tepat. Bundanya berkata, "Kalau tidak ada ketegasan dalam hubunganmu, mengapa kau harus bertunangan dengan orang lain. Nduk, pernikahan itu tidak bisa disederhanakan, apalagi ketika kau marah dengan pacarmu, kemudian bertunangan dengan orang lain."

Annisa tidak bisa menceritakan kepada Bundanya. Dia sekarang paham, cinta mereka memunculkan pemberhalaan. Sehingga dia berpikir harus menghancurkan perasaan cintanya sendiri sebelum menjadikan pacarnya sebagai berhala dari perasaannya itu. Tidak mudah memang, seperti membelah diri sendiri. Apakah ini juga pernah dilakukan oleh Bundanya?

Diam-diam Annisa merasa Bundanya perempuan cerdas yang lebih punya intuisi terhadap kehidupan perkawinannya. Pernikahan orang tuanya berjalan biasa-biasa saja. Sejak kecil Annisa tidak melihat kejanggalan atau keburukan, dalam umur pernikahan mereka? Namun Annisa tumbuh sebagai anak bungsu yang mendapat banyak perhatian dari orang tuanya.
***
Sebetulnya, ceritanya harus dimulai dari sini. Annisa merasa seperti kebanyakan mahasiswa yang penuh cita-cita dan cinta. Namun gelisah terus-menerus. Sampai suatu kali dia merasa muak dengan segala hal. Di ruang perpustakaan dia membaca, bertemu dengan seorang laki-laki. Ini memang sebuah cerita klise. Namun, sejak itu perhatiannya tertumpah kepada laki-laki itu saja. Sehingga Annisa seperti diseret ke dalam arus yang besar dan tidak bisa kembali. Annisa tercekik dan putus asa. Cintanya sudah menjadi berhala yang berada di setiap sudut ruang kuliah, kamarnya, bahkan di sebuah ruang yang paling privat. Sepertinya Annisa sudah berteriak-teriak, berguling-guling untuk memutuskan itu.

Annisa mencoba mengalihkan pikirannya ke pekerjaan.
Kemudian, untuk pertama kalinya Annisa menyulut rokok kegemaran Presiden, mengurung diri dan bekerja keras tanpa mempedulikan tunangannya yang memanggil-manggil di luar kamar. "Annisa, apa yang terjadi denganmu? Beberapa hari ini aku tidak bisa menghubungi ponsel atau telepon rumahmu," katanya lembut.
Annisa diam, diam saja. ***

Malang, 17 Januari 1984 / 30 Oktober 2004

Cerpen: Putu Wijaya

Laki-Laki Sejati


Seorang perempuan muda bertanya kepada ibunya.
Ibu, lelaki sejati itu seperti apa?

Ibunya terkejut. Ia memandang takjub pada anak yang di luar pengamatannya sudah menjadi gadis jelita itu. Terpesona, karena waktu tak mau menunggu. Rasanya baru kemarin anak itu masih ngompol di sampingnya sehingga kasur berbau pesing. Tiba-tiba saja kini ia sudah menjadi perempuan yang punya banyak pertanyaan.

Sepasang matanya yang dulu sering belekan itu, sekarang bagai sorot lampu mobil pada malam gelap. Sinarnya begitu tajam. Sekelilingnya jadi ikut memantulkan cahaya. Namun jalan yang ada di depan hidungnya sendiri, yang sedang ia tempuh, nampak masih berkabut. Hidup memang sebuah rahasia besar yang tak hanya dialami dalam cerita di dalam pengalaman orang lain, karena harus ditempuh sendiri.

Kenapa kamu menanyakan itu, anakku?
Sebab aku ingin tahu.
Dan sesudah tahu?
Aku tak tahu.

Wajah gadis itu menjadi merah. Ibunya paham, karena ia pun pernah muda dan ingin menanyakan hal yang sama kepada ibunya, tetapi tidak berani. Waktu itu perasaan tidak pernah dibicarakan, apalagi yang menyangkut cinta. Kalaupun dicoba, jawaban yang muncul sering menyesatkan. Karena orang tua cenderung menyembunyikan rahasia kehidupan dari anak-anaknya yang dianggapnya belum cukup siap untuk mengalami. Kini segalanya sudah berubah. Anak-anak ingin tahu tak hanya yang harus mereka ketahui, tetapi semuanya. Termasuk yang dulu tabu. Mereka senang pada bahaya.
Setelah menarik napas, ibu itu mengusap kepala putrinya dan berbisik.

Jangan malu, anakku. Sebuah rahasia tak akan menguraikan dirinya, kalau kau sendiri tak penasaran untuk membukanya. Sebuah rahasia dimulai dengan rasa ingin tahu, meskipun sebenarnya kamu sudah tahu. Hanya karena kamu tidak pernah mengalami sendiri, pengetahuanmu hanya menjadi potret asing yang kamu baca dari buku. Banyak orang tua menyembunyikannya, karena pengetahuan yang tidak perlu akan membuat hidupmu berat dan mungkin sekali patah lalu berbelok sehingga kamu tidak akan pernah sampai ke tujuan. Tapi ibu tidak seperti itu. Ibu percaya zaman memberikan kamu kemampuan lain untuk menghadapi bahaya-bahaya yang juga sudah berbeda. Jadi ibu akan bercerita. Tetapi apa kamu siap menerima kebenaran walaupun itu tidak menyenangkan?
Maksud Ibu?
Lelaki sejati anakku, mungkin tidak seperti yang kamu bayangkan.
Kenapa tidak?

Sebab di dalam mimpi, kamu sudah dikacaukan oleh bermacam-macam harapan yang meluap dari berbagai kekecewaan terhadap laki-laki yang tak pernah memenuhi harapan perempuan.
Di situ yang ada hanya perasaan keki.
Apakah itu salah?

Ibu tidak akan bicara tentang salah atau benar. Ibu hanya ingin kamu memisahkan antara perasaan dan pikiran. Antara harapan dan kenyataan.

Aku selalu memisahkan itu. Harapan adalah sesuatu yang kita inginkan terjadi yang seringkali bertentangan dengan apa yang kemudian ada di depan mata. Harapan menjadi ilusi, ia hanya bayang-bayang dari hati. Itu aku mengerti sekali. Tetapi apa salahnya bayang-bayang? Karena dengan bayang-bayang itulah kita tahu ada sinar matahari yang menyorot, sehingga berkat kegelapan, kita bisa melihat bagian-bagian yang diterangi cahaya, hal-hal yang nyata yang harus kita terima, meskipun itu bertentangan dengan harapan.
Ibunya tersenyum.
Jadi kamu masih ingat semua yang ibu katakan?
Kenapa tidak?
Berarti kamu sudah siap untuk melihat kenyataan?
Aku siap. Aku tak sabar lagi untuk mendengar. Tunjukkan padaku bagaimana laki-laki sejati itu.

Ibu memejamkan matanya. Ia seakan-akan mengumpulkan seluruh unsur yang berserakan di mana-mana, untuk membangun sebuah sosok yang jelas dan nyata.

Laki-laki yang sejati, anakku katanya kemudian, adalah… tetapi ia tak melanjutkan.
Adalah?
Adalah seorang laki-laki yang sejati.
Ah, Ibu jangan ngeledek begitu, aku serius, aku tak sabar.

Bagus, Ibu hanya berusaha agar kamu benar-benar mendengar setiap kata yang akan ibu sampaikan. Jadi perhatikan dengan sungguh-sungguh dan jangan memotong, karena laki-laki sejati tak bisa diucapkan hanya dengan satu kalimat. Laki-laki sejati anakku, lanjut ibu sambil memandang ke depan, seakan-akan ia melihat laki-laki sejati itu sedang melangkah di udara menghampiri penjelmaannya dalam kata-kata.
Laki-laki sejati adalah…
Laki-laki yang perkasa?!

Salah! Kan barusan Ibu bilang, jangan menyela!
Laki-laki disebut laki-laki sejati, bukan hanya karena dia perkasa! Tembok beton juga perkasa, tetapi bukan laki-laki sejati hanya karena dia tidak tembus oleh peluru tidak goyah oleh gempa tidak tembus oleh garukan tsunami, tetapi dia harus lentur dan berjiwa. Tumbuh, berkembang bahkan berubah, seperti juga kamu.
O ya?

Bukan karena ampuh, bukan juga karena tampan laki-laki menjadi sejati. Seorang lelaki tidak menjadi laki-laki sejati hanya karena tubuhnya tahan banting, karena bentuknya indah dan proporsinya ideal. Seorang laki-laki tidak dengan sendirinya menjadi laki-laki sejati karena dia hebat, unggul, selalu menjadi pemenang, berani dan rela berkorban. Seorang laki-laki belum menjadi laki-laki sejati hanya karena dia kaya-raya, baik, bijaksana, pintar bicara, beriman, menarik, rajin sembahyang, ramah, tidak sombong, tidak suka memfitnah, rendah hati, penuh pengertian, berwibawa, jago bercinta, pintar mengalah, penuh dengan toleransi, selalu menghargai orang lain, punya kedudukan, tinggi pangkat atau punya karisma serta banyak akal. Seorang laki-laki tidak menjadi laki-laki sejati hanya karena dia berjasa, berguna, bermanfaat, jujur, lihai, pintar atau jenius. Seorang laki-laki meskipun dia seorang idola yang kamu kagumi, seorang pemimpin, seorang pahlawan, seorang perintis, pemberontak dan pembaru, bahkan seorang yang arif-bijaksana, tidak membuat dia otomatis menjadi laki-laki sejati!
Kalau begitu apa dong?

Seorang laki-laki sejati adalah seorang yang melihat yang pantas dilihat, mendengar yang pantas didengar, merasa yang pantas dirasa, berpikir yang pantas dipikir, membaca yang pantas dibaca, dan berbuat yang pantas dibuat, karena itu dia berpikir yang pantas dipikir, berkelakuan yang pantas dilakukan dan hidup yang sepantasnya dijadikan kehidupan.
Perempuan muda itu tercengang.
Hanya itu?
Seorang laki-laki sejati adalah seorang laki-laki yang satu kata dengan perbuatan!
Orang yang konsekuen?
Lebih dari itu!
Seorang yang bisa dipercaya?
Semuanya!
Perempuan muda itu terpesona.

Apa yang lebih dari yang satu kata dan perbuatan? Tulus dan semuanya? Ahhhhh! Perempuan muda itu memejamkan matanya, seakan-akan mencoba membayangkan seluruh sifat itu mengkristal menjadi sosok manusia dan kemudian memeluknya. Ia menikmati lamunannya sampai tak sanggup melanjutkan lagi ngomong. Dari mulutnya terdengar erangan kecil, kagum, memuja dan rindu. Ia mengalami orgasme batin.

Ahhhhhhh, gumannya terus seperti mendapat tusukan nikmat. Aku jatuh cinta kepadanya dalam penggambaran yang pertama. Aku ingin berjumpa dengan laki-laki seperti itu. Katakan di mana aku bisa menjumpai laki-laki sejati seperti itu, Ibu?

Ibu tidak menjawab. Dia hanya memandang anak gadisnya seperti kasihan. Perempuan muda itu jadi bertambah penasaran.
Di mana aku bisa berkenalan dengan dia?
Untuk apa?

Karena aku akan berkata terus-terang, bahwa aku mencintainya. Aku tidak akan malu-malu untuk menyatakan, aku ingin dia menjadi pacarku, mempelaiku, menjadi bapak dari anak-anakku, cucu-cucu Ibu. Biar dia menjadi teman hidupku, menjadi tongkatku kalau nanti aku sudah tua. Menjadi orang yang akan memijit kakiku kalau semutan, menjadi orang yang membesarkan hatiku kalau sedang remuk dan ciut. Membangunkan aku pagi-pagi kalau aku malas dan tak mampu lagi bergerak. Aku akan meminangnya untuk menjadi suamiku, ya aku tak akan ragu-ragu untuk merayunya menjadi menantu Ibu, penerus generasi kita, kenapa tidak, aku akan merebutnya, aku akan berjuang untuk memilikinya.
Dada perempuan muda itu turun naik.

Apa salahnya sekarang wanita memilih laki-laki untuk jadi suami, setelah selama berabad-abad kami perempuan hanya menjadi orang yang menunggu giliran dipilih?
Perempuan muda itu membuka matanya. Bola mata itu berkilat-kilat. Ia memegang tangan ibunya.
Katakan cepat Ibu, di mana aku bisa menjumpai laki-laki itu?
Bunda menarik nafas panjang. Gadis itu terkejut.
Kenapa Ibu menghela nafas sepanjang itu?
Karena kamu menanyakan sesuatu yang sudah tidak mungkin, sayang.
Apa? Tidak mungkin?
Ya.
Kenapa?
Karena laki-laki sejati seperti itu sudah tidak ada lagi di atas dunia.
Oh, perempuan muda itu terkejut.
Sudah tidak ada lagi?
Sudah habis.
Ya Tuhan, habis? Kenapa?
Laki-laki sejati seperti itu semuanya sudah amblas, sejak ayahmu meninggal dunia.
Perempuan muda itu menutup mulutnya yang terpekik karena kecewa.
Sudah amblas?

Ya. Sekarang yang ada hanya laki-laki yang tak bisa lagi dipegang mulutnya. Semuanya hanya pembual. Aktor-aktor kelas tiga. Cap tempe semua. Banyak laki-laki yang kuat, pintar, kaya, punya kekuasaan dan bisa berbuat apa saja, tapi semuanya tidak bisa dipercaya. Tidak ada lagi laki-laki sejati anakku. Mereka tukang kawin, tukang ngibul, semuanya bakul jamu, tidak mau mengurus anak, apalagi mencuci celana dalammu, mereka buas dan jadi macan kalau sudah dapat apa yang diinginkan. Kalau kamu sudah tua dan tidak rajin lagi meladeni, mereka tidak segan-segan menyiksa menggebuki kaum perempuan yang pernah menjadi ibunya. Tidak ada lagi laki-laki sejati lagi, anakku. Jadi kalau kamu masih merindukan laki-laki sejati, kamu akan menjadi perawan tua. Lebih baik hentikan mimpi yang tak berguna itu.
Gadis itu termenung. Mukanya nampak sangat murung.
Jadi tak ada harapan lagi, gumamnya dengan suara tercekik putus asa. Tak ada harapan lagi. Kalau begitu aku patah hati.
Patah hati?
Ya. Aku putus asa.
Kenapa mesti putus asa?
Karena apa gunanya lagi aku hidup, kalau tidak ada laki-laki sejati?
Ibunya kembali mengusap kepala anak perempuan itu, lalu tersenyum.

Kamu terlalu muda, terlalu banyak membaca buku dan duduk di belakang meja. Tutup buku itu sekarang dan berdiri dari kursi yang sudah memenjarakan kamu itu. Keluar, hirup udara segar, pandang lagit biru dan daun-daun hijau. Ada bunga bakung putih sedang mekar beramai-ramai di pagar, dunia tidak seburuk seperti yang kamu bayangkan di dalam kamarmu. Hidup tidak sekotor yang diceritakan oleh buku-buku dalam perpustakaanmu meskipun memang tidak seindah mimpi-mimpimu.
Keluarlah anakku, cari seseorang di sana, lalu tegur dan bicara! Jangan ngumpet di sini!
Aku tidak ngumpet!
Jangan lari!
Siapa yang lari?
Mengurung diri itu lari atau ngumpet. Ayo keluar!
Keluar ke mana?
Ke jalan! Ibu menunjuk ke arah pintu yang terbuka. Bergaul dengan masyarakat banyak.
Gadis itu termangu.
Untuk apa? Dalam rumah kan lebih nyaman?
Kalau begitu kamu mau jadi kodok kuper!
Tapi aku kan banyak membaca? Aku hapal di luar kepala sajak-sajak Kahlil Gibran!

Tidak cukup! Kamu harus pasang omong dengan mereka, berdialog akan membuat hatimu terbuka, matamu melihat lebih banyak dan mengerti pada kelebihan-kelebihan orang lain.
Perempuan muda itu menggeleng.
Tidak ada gunanya, karena mereka bukan laki-laki sejati.
Makanya keluar. Keluar sekarang juga!
Keluar?
Ya.

Perempuan muda itu tercengang, suara ibunya menjadi keras dan memerintah. Ia terpaksa meletakkan buku, membuka earphone yang sejak tadi menyemprotkan musik R & B ke dalam kedua telinganya, lalu keluar kamar.

Matahari sore terhalang oleh awan tipis yang berasal dari polusi udara. Tetapi itu justru menolong matahari tropis yang garang itu untuk menjadi bola api yang indah. Dalam bulatan yang hampir sempurna, merahnya menyala namun lembut menggelincir ke kaki langit. Silhuet seekor burung elang nampak jauh tinggi melayang-layang mengincer sasaran. Wajah perempuan muda itu tetap kosong.
Aku tidak memerlukan matahari, aku memerlukan seorang laki-laki sejati, bisiknya.
Makanya keluar dari rumah dan lihat ke jalanan!
Untuk apa?

Banyak laki-laki di jalanan. Tangkap salah satu. Ambil yang mana saja, sembarangan dengan mata terpejam juga tidak apa-apa. Tak peduli siapa namanya, bagaimana tampangnya, apa pendidikannya, bagaimana otaknya dan tak peduli seperti apa perasaannya. Gaet sembarang laki-laki yang mana saja yang tergapai oleh tanganmu dan jadikan ia teman hidupmu!

Perempuan muda itu tecengang. Hampir saja ia mau memprotes. Tapi ibunya keburu memotong. Asal, lanjut ibunya dengan suara lirih namun tegas, asal, ini yang terpenting anakku,
asal dia benar-benar mencintaimu dan kamu sendiri juga sungguh-sungguh mencintainya. Karena cinta, anakku, karena cinta dapat mengubah segala-galanya.
Perempuan muda itu tercengang.

Dan lebih dari itu, lanjut ibu sebelum anaknya sempat membantah, lebih dari itu anakku, katanya dengan suara yang lebih lembut lagi namun semakin tegas, karena seorang perempuan, anakku, siapa pun dia, dari mana pun dia, bagaimana pun dia, setiap perempuan, setiap perempuan anakku, dapat membuat seorang lelaki, siapa pun dia, bagaimana pun dia, apa pun pekerjaannya bahkan bagaimana pun kalibernya, seorang perempuan dapat membuat setiap lelaki menjadi seorang laki-laki yang sejati!
***

Denpasar, akhir 2004


Cerpen: A. Mustofa Bisri

Rizal dan Mbah Hambali

Sebagai lelaki, sebetulnya umur 37 tahun belum terbilang tua benar. Tapi Rizal tak tahu mengapa kawan-kawannya selalu mengejeknya sebagai bujang lapuk, hanya karena dia belum kawin. Orang tuanya sendiri, terutama ibunya, juga begitu. Seolah-olah bersekongkol dengan kawan-kawannya itu; hampir di setiap kesempatan selalu menanyainya apakah dia sudah mendapatkan calon pendamping atau belum. Rizal selalu menanggapi semua itu hanya dengan senyum-senyum.

Jangan salah sangka! Tampang Rizal tidak jelek. Bahkan dibanding rata-rata kawannya yang sudah lebih dahulu kawin, tampang Rizal terbilang sangat manis. Apalagi bila tersenyum. Sarjana ekonomi dan aktivis LSM. Kurang apa?

"Terus teranglah, Zal. Sebenarnya cewek seperti apa sih yang kau idamkan?" tanya Andik menggoda, saat mereka berkumpul di rumah Pak Aryo yang biasa dijadikan tempat mangkal para aktivis LSM kelompoknya Rizal itu. "Kalau tahu maumu, kita kan bisa membantu, paling tidak memberikan informasi-informasi."

"Iya, Zal," timpal Budi, "kalau kau cari yang cantik, adikku punya kawan cantik sekali. Mau kukenalkan? Jangan banyak pertimbanganlah! Dengar-dengar kiamat sudah dekat lho, Zal."

"Mungkin dia cari cewek yang hafal Quran ya, Zal?!" celetuk Eko sambil ngakak. "Wah kalau iya, kau mesti meminta jasa ustadz kita, Kang Ali ini. Dia pasti mempunyai banyak kenalan santri-santri perempuan, termasuk yang hafizhah."

"Apa ada ustadz yang rela menyerahkan anaknya yang hafizhah kepada bujang lapuk yang nggak bisa ngaji seperti Rizal ini?" tukas Edy mengomentari.

"Tenang saja, Zal!" ujar Kang Ali, "kalau kau sudah berminat, tinggal bilang saja padaku."

"Jangan-jangan kamu impoten ya, Zal?" tiba-tiba Yopi yang baru beberapa bulan kawin ikut meledek. Rizal meninju lengan Yopi, tapi tidak mengatakan apa-apa. Hanya tersenyum kecut.

"Tidak sumbut dengan tampilannmu," celetuk Pak Aryo ikut nimbrung sehabis menyeruput kopinya. "Tampang boleh, sudah punya penghasilan lumayan, sarjana lagi; sama cewek kok takut! Aku carikan bagaimana?"

"Jawab dong, Zal!" kata Bu Aryo yang muncul menghidangkan pisang goreng dan kacang rebus, mencoba menyemangati Rizal yang tak berkutik dikerubut kawan-kawannya.

"Biar saja, Bu," jawab Rizal pendek tanpa nada kesal. "Kalau capek kan berhenti sendiri."

Memang Rizal orangnya baik. Setiap kali diledek dan digoda kawan-kawannya soal kawin begitu, dia tidak pernah marah. Bahkan diam-diam dia bersyukur kawan-kawannya memperhatikan dirinya. Dan bukannya dia tidak pernah berpikir untuk mengakhiri masa lajangnya; takut pun tidak. Dia pernah mendengar sabda Nabi yang menganjurkan agar apabila mempunyai sesuatu hajat yang masih baru rencana jangan disiar-siarkan. Sudah sering --sampai bosan-- Rizal menyatakan keyakinannya bahwa jodoh akan datang sendiri, tidak perlu dicari. Dicari ke mana-mana pun, jika bukan jodoh pasti tidak akan terwujud. Jodoh seperti halnya rezeki. Mengapa orang bersusah-payah memburu rezeki, kalau rezeki itu sudah ditentukan pembagiannya dari Atas. Harta yang sudah di tangan seseorang pun kalau bukan rezekinya akan lepas. Dia pernah membaca dalam buku "Hikam"-nya Syeikh Ibn ’Athaillah As-Sakandarany sebuah ungkapan yang menarik, "Kesungguhanmu dalam memperjuangankan sesuatu yang sudah dijamin untukmu dan kesambalewaanmu dalam hal yang dituntut darimu, membuktikan padamnya mata-hati dari dirimu."

Setiap teringat ungkapan itu, Rizal merasa seolah-olah disindir oleh tokoh sufi dari Iskandariah itu. Diakuinya dirinya selama ini sibuk --kadang-kadang hingga berkelahi dengan kawan-- mengejar rezeki, sesuatu yang sebetulnya sudah dijamin Tuhan untuknya. Sementara dia sambalewa dalam berusaha untuk berlaku lurus menjadi manusia yang baik, sesuatu yang dituntut Tuhan.
"Suatu ketika mereka akan tahu juga," katanya dalam hati.
***
Syahdan, pada suatu hari, ketika kelompok Rizal berkumpul di rumah Pak Aryo seperti biasanya, Kang Ali bercerita panjang lebar tentang seorang "pintar" yang baru saja ia kunjungi. Kang Ali memang mempunyai kesukaan mengunjungi orang-orang yang didengarnya sebagai orang pintar; apakah orang itu itu kiai, tabib, paranormal, dukun, atau yang lain. "Aku ingin tahu," katanya menjelaskan tentang kesukaannya itu, "apakah mereka itu memang mempunyai keahlian seperti yang aku dengar, atau hanya karena pintar-pintar mereka membohongi masyarakat sebagaimana juga terjadi di dunia politik." Karena kesukaannya inilah, oleh kawan-kawannya Kang Ali dijuluki pakar "orang pintar".

"Meskipun belum tua benar, orang-orang memanggilnya mbah. Mbah Hambali. Orangnya nyentrik. Kadang-kadang menemui tamu ote-ote, tanpa memakai baju. Kadang-kadang dines pakai jas segala. Tamunya luar biasa; datang dari segala penjuru tanah air. Mulai dari tukang becak hingga menteri. Bahkan menurut penuturan orang-orang dekatnya, presiden pernah mengundangnya ke istana. Bermacam-macam keperluan para tamu itu; mulai dari orang sakit yang ingin sembuh, pejabat yang ingin naik pangkat, pengusaha pailit yang ingin lepas dari lilitan utang, hingga caleg nomor urut sepatu yang ingin jadi. Dan kata orang-orang yang pernah datang ke Mbah Hambali, doa beliau memang mujarab. Sebagian di antara mereka malah percaya bahwa beliau waskita, tahu sebelum winarah."

Pendek kata, menurut Kang Ali, Mbah Hambali ini memang lain. Dibanding orang-orang "pintar" yang pernah ia kunjungi, mbah yang satu ini termasuk yang paling meyakinkan kemampuannya.

"Nah, kalau kalian berminat," kata Kang Ali akhirnya, "aku siap mengantar."

"Wah, ide bagus ini," sahut Pak Aryo sambil merangkul Rizal. "Kita bisa minta tolong atau minimal minta petunjuk tentang jejaka kasep kita ini. Siapa tahu jodohnya memang melalui Mbah Hambali itu."

"Setujuuu!" sambut kawan-kawan yang lain penuh semangat seperti teriakan para wakil rakyat di gedung parlemen. Hanya Rizal sendiri yang, seperti biasa, hanya diam saja; sambil senyum-senyum kecut. Sama sekali tak ada tanda-tanda dia keberatan. Apakah sikapnya itu karena dia menghargai perhatian kawan-kawannya dan tak mau mengecewakan mereka, atau sebenarnya dia pun setuju tapi malu, atau sebab lain, tentu saja hanya Rizal yang tahu. Tapi ketika mereka memintanya untuk menetapkan waktu, dia tampak tidak ragu-ragu menyebutkan hari dan tanggal; meski seandainya yang lain yang menyebutkannya, semuanya juga akan menyetujuinya, karena hari dan tanggal itu merupakan waktu prei mereka semua.
***
Begitulah. Pagi-pagi pada hari tanggal yang ditentukan, dipimpin Kang Ali, mereka beramai-ramai mengunjungi Mbah Hambali. Ternyata benar seperti cerita Kang Ali, tamu Mbah Hambali memang luar biasa banyaknya. Pekarangan rumahnya yang luas penuh dengan kendaraan. Dari berbagai plat nomor mobil, orang tahu bahwa mereka yang berkunjung datang dari berbagai daerah. Rumahnya yang besar dan kuno hampir seluruh ruangnya merupakan ruang tamu. Berbagai ragam kursi, dari kayu antik hingga sofa model kota, diatur membentuk huruf U, menghadap dipan beralaskan kasur tipis di mana Mbah Hambali duduk menerima tamu-tamunya. Di dipan itu pula konon si mbah tidur. Persis di depannya, ada tiga kursi diduduki mereka yang mendapat giliran matur.

Ternyata juga benar seperti cerita Kang Ali, Mbah Hambali memang nyentrik. Agak deg-degan juga rombongan Rizal cs melihat bagaimana "orang pintar" itu memperlakukan tamu-tamunya. Ada tamu yang baru maju ke depan, langsung dibentak dan diusir. Ada tamu yang disuruh mendekat, seperti hendak dibisiki tapi tiba-tiba "Au!" si tamu digigit telinganya. Ada tamu yang diberi uang tanpa hitungan, tapi ada juga yang dimintai uang dalam jumlah tertentu.

Giliran rombongan Rizal cs diisyarati disuruh menghadap. Kang Ali, Pak Aryo, dan Rizal sendiri yang maju. Belum lagi salah satu dari mereka angkat bicara, tiba-tiba Mbah Hambali bangkit turun dari dipannya, menghampiri Rizal. "Pengumuman! Pengumuman!" teriaknya sambil menepuk-nepuk pundak Rizal yang gemetaran. "Kenalkan ini calon menantu saya! Sarjana ekonomi, tapi nyufi!" Kemudian katanya sambil mengacak-acak rambut Rizal yang disisir rapi, "Sesuai yang tersurat, kata sudah diucapkan, disaksikan malaikat, jin, dan manusia. Apakah kau akan menerima atau menolak takdirmu ini?"

"Ya, Mbah!" jawab Rizal mantap.
"Ya bagaimana? Jadi maksudmu kau menerima anakku sebagai istrimu?"

"Ya, menerima Mbah!" sahut Rizal tegas.
"Ucapkan sekali lagi yang lebih tegas!"

"Saya menerima, Mbah!"
"Alhamdulillah! Sudah, kamu dan rombonganmu boleh pulang. Beritahukan keluargamu besok lusa suruh datang kemari untuk membicarakan kapan akad nikah dan walimahnya!"

Di mobil ketika pulang, Rizal pun dikeroyok kawan-kawannya.
"Lho, kamu ini bagaimana, Zal?" kata Pak Aryo penasaran. "Tadi kamu kok ya ya saja, seperti tidak kau pikir."

"Kau putus asa ya?" timpal Budi. "Atau jengkel diledek terus sebagai bujang lapuk, lalu kau mengambil keputusan asal-asalan begitu?"
"Ya kalau anak Mbah Hambali cantik," komentar Yopi, "kalau pincang atau bopeng, misalnya, bagaimana?"

"Pernyataanmu tadi disaksikan orang banyak lho," kata Eko mengingatkan. "Lagi pula kalau kau ingkar, kau bisa kualat Mbah Hambali nanti!"
"Jangan-jangan kau diguna-gunain Mbah Hambali, Zal!" kata Andik khawatir.

Seperti biasa, Rizal hanya diam sambil senyum-senyum. Kali ini tidak seperti biasa, Kang Ali juga diam saja sambil senyum-senyum penuh arti. ***

Rembang, 2004

Cerpen: Abidah El Khalieq

DO KAHAR

JALAN di pinggiran kampung itu sering disusuri, dipijaki dengan tangis dan luka hati. Luka yang hampir-hampir mengubur segala asa. Sejak dulu ia tahu, bukan mutu manikam tapi sangkur menikam di hidung: "Hei babi! Tak ada orang gunung, orang kaki gunung pun jadi!" Ia belok kiri, menapak tanah merah retak, semerah lukanya, seretak harapannya.

Kerongkongannya terasa melilit pahit, racun-racun ular mengisap sendi-sendi tubuhnya. Namun terus saja melangkah, meski sayapnya kian lemah kehabisan darah, hampir patah. Ada dua burung kecil mencicit di barak, menyalakan nyali terus melangkah ke depan, mencari harapan. Menipis terompah mengusut baju dan celana, di sana sini lubang dan penuh tisikan pula.

Dan ketidaklayakan itu, lama-lama menjadi layak juga, enak dipakai nyaman dikenai di tubuh yang telah mati. Namanya Do Kahar. Orang kampung suka mengejek serupa sanjungan, Dokar. Bukannya nama lain dari kereta kencana? Kendaraan Nyi Roro Kidul yang melegenda? Do Kahar yang aslinya Abdul Kahar, si Dokar itu masih bisa bernyanyi di tengah semilir siang di bawah redup hutan.

Diureueng Acheh, ate bek teupeh kreih jeut taraba/ Menyoe ate kateupeh bulebeh handipentaba/Tantum kramkrum bhambhum/Ojak-pupdah!/

Meriang tubuh bukan tersebab malaria, Dokar terserang ingatan malam purnama di kedalaman rimba ini pula, dulu dua tahun lalu, putrinya bernama Kemala raib ditelan mulut hitam belantara. Dua hari kegemparan penduduk kampung saat ditemukan Kemala bersimbah cabik luka, darah aniaya. Kepala pecah dan vagina menganga. Ahli kamus duka tahu, dua belas anjing telah melahapnya, binasa!

Raung Dokar membubung ke langit tujuh, mengetuk muntaha, menggedor arsyistawa, dan waktu berputar seperti gasing. Setahun kemudian, turunlah perintah pemenggalan jiwa bagi Kemal, kakak Kemala, di rimba ini jua. Dokar ternganga, jatuh terjerembap lumpur hitam dengan luka menganga, terus menganga tak pernah bisa katup. Dibawanya nganga itu ke kota, ke Dokter ahli bedah.

Perintah Dokter terlaksana, gembok tujuh biji dipasang di antara mulut Dokar. Tapi lidahnya menjulur, giginya memanjang. Dokter ketakutan! Ia pukul batok kepalanya berulang-ulang dan dicekam bimbang. Ia putar otak dan terus menimbang-nimbang banyak kemungkinan. O, barangkali gembok mesti ditambah lagi. Yang lebih mumpuni. Bersegera ia panggil Asisten dan musyawarah tujuh gembok lagi.

Dokar di ujung sabar menahan sakit tujuh kali tujuh gembok berbaris mengepungnya, memblokade mulutnya, membekap serak suaranya. Dokar jatuh pingsan di kaki Ahli bedah. Dalam koma, ia bermimpi jumpa Kemala dan Kemal di garis depan, iring-iringan pengantin nuju pelaminan. Cahaya maha satin! Lembut tembus pandang. Tanpa hijab. Saking takjubnya, Dokar lupa tujuh kali tujuh gembok di bawah hidungnya. Ia koyak seketika.

"Ia tak bersalah! Ia sudah sampai surga! Sampai surga! Ia sudah sampai!" teriaknya menggila, luap sukacita. Dokter henyak dan ternganga, terus nganga tak bisa katup. Dokter panik dan kacau. Lebih panik lagi saat lihat Dokar telah katup anggun mulutnya sebagai sediakala.

Nganga itu tak ada, pindah serentak ke mulut Ahli bedah. Dokter mengaca dan terus becermin, melihat keajaiban itu dalam pantulan cermin diri yang buram kusam. Ia teriak pada Asisten untuk ambil bening kaca. Di mana?

"Cari di kamar bedah, kalau tak ada ya di mana saja. Yang penting cari dan temukan! Aku tak tahan!"

"Seingat saya, dulu ada di kamar pribadi Anda, tapi akhir-akhir ini, ia terus berpindah"

"Di mana ia pindah. Ayo segera temukan!"

"Kalau tak salah, kadang ia di taman, kadang di meja makan, kadang di ruang ICU, tapi yang lebih sering di toilet"

"Di mana pun ia, segera bawa kemari!" pungkas Dokter ahli bedah.

Asisten memacu langkah membayang tiba segera di toilet. Namun ia jumpa berderet-deret, perempuan dan laki-laki antre depan toilet. Untuk menggertak waktu, iseng sang Asisten mulai menghitung deretan laki-laki, empat belas orang, barisan perempuan juga empat belas orang. Syukur tak ada jompo atau anak-anak. Semuanya dewasa berjalan tertib mendamba satu jua, kakus.

Waktu berjalan sempoyongan, iseng Asisten kian menjadi. Ia mulai menghayati tampang-tampang yang selesai. Betapa terkejut Asisten menerima anugerah penglihatan istimewa. Dilihatnya raut mereka yang baru keluar toilet itu berubah, menganga semua mulutnya, seperti Do Kahar. Menderu jantungnya ingin segera berlari ke dalam toilet dan mengambil itu kaca benggala. Ayolah lalu-lalang! Biarkan aku tiba dan mengambilnya.

Dan ia tiba di muka cermin, bersegera mematut wajahnya, menimang ulu hati dan memotret samudra jiwa. Ia melihat dengan gamblang, tanpa tabir tanpa selendang cadar, titik hitam luka meratus, meribu, dan menjuta, seperti titik galaksi asing, di kedalaman lautan ruh. Asisten terpukau, terpana. Dan mulutnya menganga, lebar seperti luka bumi Tunguska.

"Hah! Ini nganga epidemik yang mesti dibasmi!"

Berlari kencang Asisten lupa segala cermin alpa semua perintah. Dokter bedah temukan ia berkuyup peluh takut dan celaka. O, lukaku di atas sebatang kara! Gere berine gere berama, garipo o sayang! Tak beribu, tak berayah, sendiri o sayang!

"Di mana itu cermin?" bentak Dokter.

"Di mana itu katup?" bentak Asisten.

Dokter dan Asisten sama-sama mendelong terlongong terbengong-bengong, mendapati nganga itu di mulut kawannya, sama-sama, seperti kembar-siam saja. Kemarahan yang bakal meledak tinggal diam disimpan dalam sunyi masing-masing, sama-sama mengerti. Lalu hening. Senyap dan akrab.

"Kau saudaraku," kata Dokter.

"Aku saudaramu," kata Asisten.

"Lukaku lukamu," bisik Dokter.

"Luka kita bersama," desah Asisten.

"Lukaku lukamu luka kita, ngangamu ngangaku nganga kita...," kor para laki dan perempuan di belakang mereka, Dokter bedah dan asistennya. Do Kahar merapat barisan paling depan, menjadi sais kereta kencana bagi sang Dokar. Ada nafiri merdu menghubungkan jiwa-jiwa bersatu, menjadi kepal tinju penuh deru menggemuruh, meluap dalam kalbu.

"Jadi siapa bikin nganga?" Do Kahar tanya.

"Dan siapa bikin katup?" Ahli bedah juga tanya.

Masing-masing anggota barisan bertanya, tentang nganga dan katup bibirnya. Telah keliling perjalanan ditempuh, bertemu guru dan pujangga, berjumpa ulama dan umara, bersua psikolog dan astrolog, tatap muka bersama pedagang dan pelancong, penujum dan penyair, pemabuk dan pengusaha, telah dinaiki segala pelangi, diarungi segala laut dan menyisir sungai-sungai.

Sampailah mereka di gunung masai, puncak letih dari mendaki. Tak bersua jawab kecuali kabut gelap. Segelap malam jelaga pekuburan. Di sisi mereka, zombi-zombi gentayangan, julur lidah siap menerkam merajam. O, bahkan di sini tak ada katup dunia, segalanya nganga.

Yogyakarta, 2005

Puisi: KH.Mustafa Bisri

Rasanya Baru Kemarin...

Rasanya
Baru kemarin

Bung Karno dan Bung Hatta
Atas nama kita menyiarkan dengan seksama
Kemerdekaan kita di hadapan dunia.

Rasanya
Gaung pekik merdeka kita
Masih memantul-mantul tidak hanya
Dari para jurkam PDIP saja.

Rasanya
Baru kemarin.

Padahal sudah lima puluh sembilan tahun lamanya.
Pelaku-pelaku sejarah yang nista dan mulia
Sudah banyak yang tiada. Penerus-penerusnya
Sudah banyak yang berkuasa atau berusaha
Tokoh-tokoh pujaan maupun cercaan bangsa
Sudah banyak yang turun tahta
Taruna-taruna sudah banyak yang jadi
Petinggi negeri
Mahasiswa-mahasiswa yang dulu suka berdemonstrasi
Sudah banyak yang jadi menteri dan didemonstrasi.

Rasanya
Baru kemarin

Padahal sudah lebih setengah abad lamanya.
Menteri-menteri yang dulu suka korupsi
Sudah banyak yang meneriakkan reformasi

Rasanya baru kemarin

Rakyat yang selama ini terdaulat
sudah semakin pintar mendaulat
Pemerintah yang tak kunjung merakyat
pun terus dihujat

Rasanya baru kemarin

Padahal sudah lima puluh sembilan tahun lamanya.
Pembangunan jiwa masih tak kunjung tersentuh
Padahal pembangunan badan yang kemarin dibangga-banggakan
sudah mulai runtuh

Kemajuan semu sudah semakin menyeret dan mengurai
pelukan kasih banyak ibu-bapa
dari anak-anak kandung mereka
Krisis sebagaimana kemakmuran duniawi sudah menutup mata
banyak saudara terhadap saudaranya

Daging yang selama ini terus dimanjakan kini sudah mulai kalap mengerikan
Ruh dan jiwa
sudah semakin tak ada harganya

Masyarakat yang kemarin diam-diam menyaksikan
para penguasa berlaku sewenang-wenang
kini sudah pandai menirukan

Tanda-tanda gambar sudah semakin banyak jumlahnya
Semakin bertambah besar pengaruhnya
Mengalahkan bendera merah putih dan lambang garuda
Kepentingan sendiri dan golongan
sudah semakin melecehkan kebersamaan

Rasanya
Baru kemarin

Padahal sudah lebih setengah abad kita merdeka
Pahlawan-pahlawan idola bangsa
Seperti Pangeran Diponegoro
Imam Bonjol, dan Sisingamangaraja
Sudah dikalahkan oleh Sin Chan, Baja Hitam,
dan Kura-kura Ninja

Banyak orang pandai sudah semakin linglung
Banyak orang bodoh sudah semakin bingung
Banyak orang kaya sudah semakin kekurangan
Banyak orang miskin sudah semakin kecurangan

Rasanya
Baru kemarin

Tokoh-tokoh angkatan empatlima sudah banyak yang koma
Tokoh-tokoh angkatan enamenam sudah banyak yang terbenam
Tokoh-tokoh angkatan selanjutnya sudah banyak yang tak jelas maunya

Rasanya
Baru kemarin

(Hari ini ingin rasanya
Aku bertanya kepada mereka semua
Sudahkah kalian Benar-benar merdeka?)

Rasanya
Baru kemarin

Negeri zamrud katulistiwaku yang manis
Sudah terbakar nyaris habis
Dilalap krisis dan anarkis
Mereka yang kemarin menikmati pembangunan
Sudah banyak yang bersembunyi meninggalkan beban
Mereka yang kemarin mencuri kekayaan negeri
Sudah meninggalkan utang dan lari mencari selamat sendiri

Mereka yang kemarin sudah terbiasa mendapat kemudahan
Banyak yang tak rela sendiri kesulitan
Mereka yang kemarin mengecam pelecehan hukum
Kini sudah banyak yang pintar melecehkan hukum

Rasanya baru kemarin
Padahal sudah lebih setengah abad kita merdeka.

Mahasiswa-mahasiswa pejaga nurani
Sudah dikaburkan oleh massa demo yang tak murni
Para oportunis pun mulai bertampilan
Berebut menjadi pahlawan
Pensiunan-pensiunan politisi
Sudah bangkit kembali
Partai-partai politik sudah bermunculan
Dalam reinkarnasi

Rasanya baru kemarin

Wakil-wakil rakyat yang kemarin hanya tidur
Kini sudah pandai mengatur dan semakin makmur
Insan-insan pers yang kemarin seperti burung onta
Kini sudah pandai menembakkan kata-kata

Rasanya
Baru kemarin
Padahal sudah lima puluh sembilan tahun kita
Merdeka.

Para jenderal dan pejabat sudah saling mengadili
Para reformis dan masyarakat sudah nyaris tak terkendali
Mereka yang kemarin dijarah
Sudah mulai pandai meniru menjarah
Mereka yang perlu direformasi
Sudah mulai fasih meneriakkan reformasi
Mereka yang kemarin dipaksa-paksa
Sudah mulai berani mencoba memaksa

Mereka yang selama ini tiarap ketakutan
Sudah banyak yang muncul ke permukaan
Mereka yang kemarin dipojokkan
Sudah mulai belajar memojokkan
Mereka yang kemarin terbelenggu

Sudah mulai lepas kendali melampiaskan nafsu
Mereka yang kemarin giat mengingatkan yang lupa
Sudah mulai banyak yang lupa

Rasanya baru kemarin

Ingin rasanya aku bertanya kepada mereka semua
Tentang makna merdeka

Rasanya baru kemarin

Pakar-pakar dan petualang-petualang negeri
Sudah banyak yang sibuk mengatur nasib bangsa
Seolah-olah Indonesia milik mereka sendiri
Hanya dengan meludahkan kata-kata

Rasanya baru kemarin

Dakwah mengajak kebaikan
Sudah digantikan jihad menumpas kiri-kanan
Dialog dan diskusi
Sudah digantikan peluru dan amunisi

Rasanya baru kemarin

Masyarakat Indonesia yang berketuhanan
Sudah banyak yang kesetanan
Bendera merahputih yang selama ini dibanggakan
Sudah mulai dicabik-cabik oleh dendam dan kedengkian

Rasanya baru kemarin

Legislatif yang lama sekali non aktif
Dan yudikatif yang pasif
Mulai pandai menyaingi eksekutif
Dalam mencari insentif

Rasanya baru kemarin

Para seniman sudah banyak yang senang berpolitik
Para agamawan sudah banyak yang pandai main intrik
Para wartawan sudah banyak yang pintar bikin trik-trik

Rasanya
Baru kemarin

Tokoh-tokoh orde lama sudah banyak yang mulai menjelma
Tokoh-tokoh orde baru sudah banyak yang mulai menyaru

Rasanya
Baru kemarin

Orang-orang NU yang sekian lama dipinggirkan
Sudah mulai kebingungan menerima orderan
NU dan Muhammadiyah yang selama ini menjauhi politik praktis
Sudah kerepotan mengendalikan warganya yang bersikap pragmatis

Rasanya
Baru kemarin

Pak Harto yang kemarin kita tuhankan
Sudah menjadi pesakitan yang sakit-sakitan
Bayang-bayangnya sudah berani pergi sendiri
Atau lenyap seperti disembunyikan bumi
Tapi ajaran liciknya sudah mulai dipraktekkan
oleh tokoh-tokoh yang merasa tertekan
Anak dan antek kesayangan Bapak sudah berani tampil lagi
Mendekati rakyat lugu mencoba menarik simpati
Memanfaatkan popularitas dan kesulitan hidup hari ini

Rasanya baru kemarin

Habibie sudah meninggalkan
Negeri menenangkan diri
Gus Dur sudah meninggalkan
Atau ditinggalkan partainya seorang diri

Rasanya baru kemarin
Padahal sudah limapuluh sembilan tahun lamanya
Megawati yang menghabiskan sisa kekuasaan Abdurrahman
Mengajak Hasyim Muzadi merebut lagi kursi kepresidenan
Membangkitkan nafsu banyak warga NU terhadap kedudukan

Apalagi Wiranto yang mengalahkan Akbar
menggandeng Salahuddin keturunan Rais Akbar
Ikut bersaing merebut kekuasaan melalui Golkar
Dan didukung PKB yang dulu ngotot ingin Golkar bubar

SBY yang mundur dari kabinet Mega juga ikut berlaga
Dengan Jusuf Kalla menyaingi mantan bos mereka
Bahkan dalam putaran pertama paling banyak mengumpulkan suara

Amin Rais yang sudah lama memendam keinginan
Memimpin negeri ini mendapatkan Siswono sebagai rekanan
Sayang perolehan suara mereka tak cukup signifikan

Hamzah Haz yang tak dicawapreskan PDI maupun Golkar
Maju sendiri sebagai capres dengan menggandeng Agum Gumelar
Maju mereka berdua pun dianggap PPP dan lainnya sekedar kelakar

Rasanya baru kemarin

Rakyat yang sekian lama selalu hanya dijadikan
Obyek dan dipilihkan
Kini sudah dimerdekakan Tuhan
Dapat sendiri menentukan pilihan
Meski banyak pemimpin bermental penjajah yang keberatan
Dan ingin terus memperbodohnya dengan berbagai alasan
Rakyat yang kebingungan mencari panutan
Malah mendapatkan kedewasaan dan kekuatan
(Hari ini ingin rasanya
Aku bertanya kepada mereka semua
Bagaiman rasanya
Merdeka?)
Rasanya baru kemarin
Orangtuaku sudah lama pergi bertapa
Anak-anakku sudah pergi berkelana
Kakakku dan kawan-kawanku sudah jenuh menjadi politikus
Aku sendiri tetap menjadi tikus

(Hari ini
setelah limapuluh sembilan tahun kita merdeka
ingin rasanya aku mengajak kembali
mereka semua yang kucinta
untuk mensyukuri lebih dalam lagi
rahmat kemerdekaan ini
dengan mereformasi dan meretas belenggu tirani
diri sendiri
bagi merahmati sesama)
Rasanya baru kemarin
Ternyata sudah limapuluh sembilan tahun kita
Merdeka

(Ingin rasanya
aku sekali lagi menguak angkasa
dengan pekik yang lebih perkasa:
Merdeka!)

Rembang, 17 Agustus 2004

Minggu, 01 Maret 2009

PUISI-PUISI DUNIA

JOHANN WOLFGANG GOETHE

Lagu malam si pengembara

I

Kau, yang nun diluhur bertahta

Melipur derita dan sakit seluruh,

Yang− apa sengsara berganda adanya−

Berganda kaulimpahi dengan nikmatmu,

Ah, aku lah jemu dijalan kelana.

Apa manfaat bersangsi-sendu?

Damai yang nyaman,

Mari, ah, mari semayang dalam dadaku.

II

Dipuncak pegunungan

Dipucuk pepohonan

Sebisik sepoi

Tiada bersesah.

Burung-burung sunyi dirimbah.

Tunggulah ! Tak lama

Kau juga istirah


FRIEDRICH SCHILLER

Puisi

Tiada belenggu mengikat daku,

tiada penghalang melintang,

Leluasa melancar daku, kesegala

penjuru ruang lepas.

Pikiran ialah duniaku, luas

tiada terbatas

Dan kata jadi sayapku, bebas

melayang terbang.


Segalah yangt bergerak dicakrawala

dan diatas dunia,

Apa yang diciptakan alam

jauh dalam terpendam,

Mesti terorak bagiku dari

selubung tirai kelam


Memang tiada yang menghalang

daya pujangga merdeka:

Tapi tiada lebih indah kujumpai

betapun lama memilih

Selain jiwa yang permai

dalam bentuk puisi.


Di tulis Ulang dengan Ejaan Baru
Dari:
Puisi-Puisi Dunia Jilid II
Gema Djiwa Germania
Disusun ole : M. Taslim Ali
Penerbit : Balai Pustaka 1953