Kamis, 05 Maret 2009

Cerpen: Abidah El Khalieq

DO KAHAR

JALAN di pinggiran kampung itu sering disusuri, dipijaki dengan tangis dan luka hati. Luka yang hampir-hampir mengubur segala asa. Sejak dulu ia tahu, bukan mutu manikam tapi sangkur menikam di hidung: "Hei babi! Tak ada orang gunung, orang kaki gunung pun jadi!" Ia belok kiri, menapak tanah merah retak, semerah lukanya, seretak harapannya.

Kerongkongannya terasa melilit pahit, racun-racun ular mengisap sendi-sendi tubuhnya. Namun terus saja melangkah, meski sayapnya kian lemah kehabisan darah, hampir patah. Ada dua burung kecil mencicit di barak, menyalakan nyali terus melangkah ke depan, mencari harapan. Menipis terompah mengusut baju dan celana, di sana sini lubang dan penuh tisikan pula.

Dan ketidaklayakan itu, lama-lama menjadi layak juga, enak dipakai nyaman dikenai di tubuh yang telah mati. Namanya Do Kahar. Orang kampung suka mengejek serupa sanjungan, Dokar. Bukannya nama lain dari kereta kencana? Kendaraan Nyi Roro Kidul yang melegenda? Do Kahar yang aslinya Abdul Kahar, si Dokar itu masih bisa bernyanyi di tengah semilir siang di bawah redup hutan.

Diureueng Acheh, ate bek teupeh kreih jeut taraba/ Menyoe ate kateupeh bulebeh handipentaba/Tantum kramkrum bhambhum/Ojak-pupdah!/

Meriang tubuh bukan tersebab malaria, Dokar terserang ingatan malam purnama di kedalaman rimba ini pula, dulu dua tahun lalu, putrinya bernama Kemala raib ditelan mulut hitam belantara. Dua hari kegemparan penduduk kampung saat ditemukan Kemala bersimbah cabik luka, darah aniaya. Kepala pecah dan vagina menganga. Ahli kamus duka tahu, dua belas anjing telah melahapnya, binasa!

Raung Dokar membubung ke langit tujuh, mengetuk muntaha, menggedor arsyistawa, dan waktu berputar seperti gasing. Setahun kemudian, turunlah perintah pemenggalan jiwa bagi Kemal, kakak Kemala, di rimba ini jua. Dokar ternganga, jatuh terjerembap lumpur hitam dengan luka menganga, terus menganga tak pernah bisa katup. Dibawanya nganga itu ke kota, ke Dokter ahli bedah.

Perintah Dokter terlaksana, gembok tujuh biji dipasang di antara mulut Dokar. Tapi lidahnya menjulur, giginya memanjang. Dokter ketakutan! Ia pukul batok kepalanya berulang-ulang dan dicekam bimbang. Ia putar otak dan terus menimbang-nimbang banyak kemungkinan. O, barangkali gembok mesti ditambah lagi. Yang lebih mumpuni. Bersegera ia panggil Asisten dan musyawarah tujuh gembok lagi.

Dokar di ujung sabar menahan sakit tujuh kali tujuh gembok berbaris mengepungnya, memblokade mulutnya, membekap serak suaranya. Dokar jatuh pingsan di kaki Ahli bedah. Dalam koma, ia bermimpi jumpa Kemala dan Kemal di garis depan, iring-iringan pengantin nuju pelaminan. Cahaya maha satin! Lembut tembus pandang. Tanpa hijab. Saking takjubnya, Dokar lupa tujuh kali tujuh gembok di bawah hidungnya. Ia koyak seketika.

"Ia tak bersalah! Ia sudah sampai surga! Sampai surga! Ia sudah sampai!" teriaknya menggila, luap sukacita. Dokter henyak dan ternganga, terus nganga tak bisa katup. Dokter panik dan kacau. Lebih panik lagi saat lihat Dokar telah katup anggun mulutnya sebagai sediakala.

Nganga itu tak ada, pindah serentak ke mulut Ahli bedah. Dokter mengaca dan terus becermin, melihat keajaiban itu dalam pantulan cermin diri yang buram kusam. Ia teriak pada Asisten untuk ambil bening kaca. Di mana?

"Cari di kamar bedah, kalau tak ada ya di mana saja. Yang penting cari dan temukan! Aku tak tahan!"

"Seingat saya, dulu ada di kamar pribadi Anda, tapi akhir-akhir ini, ia terus berpindah"

"Di mana ia pindah. Ayo segera temukan!"

"Kalau tak salah, kadang ia di taman, kadang di meja makan, kadang di ruang ICU, tapi yang lebih sering di toilet"

"Di mana pun ia, segera bawa kemari!" pungkas Dokter ahli bedah.

Asisten memacu langkah membayang tiba segera di toilet. Namun ia jumpa berderet-deret, perempuan dan laki-laki antre depan toilet. Untuk menggertak waktu, iseng sang Asisten mulai menghitung deretan laki-laki, empat belas orang, barisan perempuan juga empat belas orang. Syukur tak ada jompo atau anak-anak. Semuanya dewasa berjalan tertib mendamba satu jua, kakus.

Waktu berjalan sempoyongan, iseng Asisten kian menjadi. Ia mulai menghayati tampang-tampang yang selesai. Betapa terkejut Asisten menerima anugerah penglihatan istimewa. Dilihatnya raut mereka yang baru keluar toilet itu berubah, menganga semua mulutnya, seperti Do Kahar. Menderu jantungnya ingin segera berlari ke dalam toilet dan mengambil itu kaca benggala. Ayolah lalu-lalang! Biarkan aku tiba dan mengambilnya.

Dan ia tiba di muka cermin, bersegera mematut wajahnya, menimang ulu hati dan memotret samudra jiwa. Ia melihat dengan gamblang, tanpa tabir tanpa selendang cadar, titik hitam luka meratus, meribu, dan menjuta, seperti titik galaksi asing, di kedalaman lautan ruh. Asisten terpukau, terpana. Dan mulutnya menganga, lebar seperti luka bumi Tunguska.

"Hah! Ini nganga epidemik yang mesti dibasmi!"

Berlari kencang Asisten lupa segala cermin alpa semua perintah. Dokter bedah temukan ia berkuyup peluh takut dan celaka. O, lukaku di atas sebatang kara! Gere berine gere berama, garipo o sayang! Tak beribu, tak berayah, sendiri o sayang!

"Di mana itu cermin?" bentak Dokter.

"Di mana itu katup?" bentak Asisten.

Dokter dan Asisten sama-sama mendelong terlongong terbengong-bengong, mendapati nganga itu di mulut kawannya, sama-sama, seperti kembar-siam saja. Kemarahan yang bakal meledak tinggal diam disimpan dalam sunyi masing-masing, sama-sama mengerti. Lalu hening. Senyap dan akrab.

"Kau saudaraku," kata Dokter.

"Aku saudaramu," kata Asisten.

"Lukaku lukamu," bisik Dokter.

"Luka kita bersama," desah Asisten.

"Lukaku lukamu luka kita, ngangamu ngangaku nganga kita...," kor para laki dan perempuan di belakang mereka, Dokter bedah dan asistennya. Do Kahar merapat barisan paling depan, menjadi sais kereta kencana bagi sang Dokar. Ada nafiri merdu menghubungkan jiwa-jiwa bersatu, menjadi kepal tinju penuh deru menggemuruh, meluap dalam kalbu.

"Jadi siapa bikin nganga?" Do Kahar tanya.

"Dan siapa bikin katup?" Ahli bedah juga tanya.

Masing-masing anggota barisan bertanya, tentang nganga dan katup bibirnya. Telah keliling perjalanan ditempuh, bertemu guru dan pujangga, berjumpa ulama dan umara, bersua psikolog dan astrolog, tatap muka bersama pedagang dan pelancong, penujum dan penyair, pemabuk dan pengusaha, telah dinaiki segala pelangi, diarungi segala laut dan menyisir sungai-sungai.

Sampailah mereka di gunung masai, puncak letih dari mendaki. Tak bersua jawab kecuali kabut gelap. Segelap malam jelaga pekuburan. Di sisi mereka, zombi-zombi gentayangan, julur lidah siap menerkam merajam. O, bahkan di sini tak ada katup dunia, segalanya nganga.

Yogyakarta, 2005

Tidak ada komentar:

Posting Komentar